Jumat, 09 Mei 2008

Legenda Hidup Sebelum Mei '98

Judul Buku: Wars Within, Pergulatan Tempo, Majalah Berita Sejak Zaman Orde Baru Penulis: Janet Steele
Penerbit
: Dian Rakyat
Cetakan
: Agustus 2007
Jumlah Hal
: xxxiv + 302


”Soeharto turun terlalu cepat!”
Kalimat tersebut diucapkan Goenawan Moehammad (GM) di hadapan Janet Steele, di sebuah kedai terbuka, 20 juni 1998. “Kalimat GM itu terdengar di sela-sela hujan yang jatuh di atas atap yang bergelombang,” Terang Janet. GM kemudian melanjutkan, “jika dia (Soeharto) bertahan lebih lama, kami mungkin bisa mendapat infrastruktur demokrasi yang lebih baik, tapi ia pergi terlalu mudah, terlalu cepat, dan kini kami tinggal dengan kekuatan oposisi yang kacau. GM sadar betul dengan kekecewaan yang ia rasakan, “saya kira kekecewaan selalu mucul setelah setelah semua revolusi.” Kata GM. "Penggalan percakapan GM dan Janet Steele tersebut pertama kali digambarkan pada prolog Wars Within. Janet Steele—sang indonesianis mendapat kesempatan melakukan penelitian tentang pergulatan Majalah Tempo sepanjang Orde Baru. Janet menghabiskan waktu sekitar 6 bulan untuk penelitian. Bermula dari “hononary Fullbrighter” yang membawanya kembali ke Indonesia pada Mei 1999, setahun setelah Soeharto Jatuh.

Sebelumnya Janeet mengaku pernah menulis tentang surat kabar Amerika abad ke-19 bernama New York Sun. Pemimpin Redaksinya, Charles A. Dana meninggal seratus tahun sebelum dia menyelesaikan buku itu (hlm. xvii). New York Sun dan Tempo, berarti juga Charles A. Dana dan GM. Bedanya adalah GM, sang Pemimpin Redaksi, sekaligus salah satu pendiri Tempo masih hidup, bahkan sampai sekarang. Sesuatu yang menandakan bahwa Tempo—sesungguhnya adalah legenda yang hidup.

Tempo adalah anak sah dari Orba. Didirikan pada tahun 1971. Sebelumnya, tahun 1966, terjadi gelombang hebat gerakan mahasiswa dan Militer. Dua kekuatan tersebut berhasil mengakhiri Demokrasi Terpimpin Presiden Soekarno.

Ada alasan tepat mengatakan Tempo adalah anak sah Orba—bahwa Tempo didirikan oleh aktivis angkatan 66, dan aktivis mahasiswa 66 ketika itu adalah saudara kandung Militer. Jadi tidak asing sejak awal berdirinya, Tempo punya “banyak saudara” di militer.
Namun pada “ruh” yang dibawanya , Tempo ternyata “durhaka” dan mengambil jalan berseberangan dengan saudaranya, hampir seratus delapan puluh derajat! Militer menjadi kaki tangan Soeharto, sedangkan Tempo memutuskan menjadi oposisi paling “romantis” sepanjang sejarah perlawanan pers di Indonesia. Tempo tetap membela pemikiran kritis—ciri umum dari kehidupan demokrasi. Spirit itu menyebabkan Tempo beberapa kali hampir dibredel, beberapa kali lolos, termasuk pada peristiwa Malari 1974, namun setelah peristiwa Malari, hubungan Tempo dan pemerintah bertambah kompleks dan menghawatirkan bagi eksistensi Tempo sendiri.

Berbagai strategi mulai diformulasi sehalus mungkin, GM percaya, salah satu keuntungan majalah mingguan seperti halnya Tempo adalah berita ‘panas” akan dengan sendirinya “dingan” setelah beberapa hari. “Majalah akan menekan pemerintah ketika pemerintah sedang lemah, kami menahan diri ketika pemerintah sedang kuat,” kata GM ketika diwawancara Janet tanggal 9 Februari 1998, sebulan sebelum reformasi (hlm. 84). Pemerintah terlalu kuat. Tempo sangat hati-hati. Akan sangat fatal jika ada kesalahan sedikit saja, misalnya dalam hal pemilihan berita. Bahkan kutipan sedikit ekstrim saja bisa membunuh Tempo dalam sekejap.
Meski berada dalam tekanan, wartawan Tempo bukan tak punya kemampuan untuk menolak pandangan pemerintah, meminjam kata Thoriq, “menyelip-nyelipkan (fakta) belakangan” (hlm. 86).

Dari sana, Tempo berhasil melakukan semi-investigasi sampai invertigasi menyeluruh pada banyak kasus kontroversial yang melibatkan pemerintah, sebuah inovasi heroik untuk pers di bawah Orba. Kasus Tanjung Priok adalah salah satunya.
Laporan Tempo, September 1984 terkait kasus Tanjung Priok ketika itu bebeda resmi dengan versi pemerintah. Laporan resmi menyebutkan, sembilan muslim mati ditembak tentara Indonesia, 55 terluka. Menurut Tempo, jumlah korban tewas lebih banyak, 28 orang—sesuatu yang dianggap berani sehingga banyak yang mengira majalah itu akan dibredel (hlm. 99). Ternyata tidak, belum. Baru setelah memasuki tahun 1990-an, hubungan Tempo lebih “kacau” lagi dengan pemerintah. Majalah itu seperti tinggal menunggu ajal.

21 Juli 1994, Tempo dituduh keluar dari “prinsip pers Pancasila,“ diksi lain dari “pers yang berbahaya bagi pengamanan ruang kekuasaan dan harus dibredel” Departemen Penerangan mengeluarkan Surat Izin Penerbitan Pers (SUIPP) kepada Tempo dengan alasan tidak wajar. Jelas sudah, Tempo dibredel lagi untuk kedua kalinya. Pertama kali pada 1982. Anehnya, tidak pernah ada yang tahu siapa yang sebenarnya membredel Tempo, beberapa kalangan, termasuk Bambang Harimoekti meyakini Menteri Penerangan Harmoko yang paling bertangung jawab, yang lain mengatakan B.J. Habibie, yang lain lagi mengatakan itu keputusan Soeharto sendiri (hlm. 217).

Janet harus kita akui sebagai narator yang hebat. Wars Within bahkan mirip gaya penulisan Tempo ketika mengangkat isu-isu yang dipandang sensitif oleh pemerintah.
Selain itu, ada banyak variabel sosial politik yang tersentuh Janet. Titik balik paling penting bagi Tempo sendiri adalah perpecahan di tubuh Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) pada 3 November 1970. Perpecahan tersebut dilatarbelakangi intervensi Oprasi Khusus (Opsus) tentara pada kongres organisasi PWI di Palembang. Mereka berusaha menempatkan B.M. Diah di pucuk pimpinan PWI dengan melakukan pertemuan di hotel yang sama dan kemudian memilih B.M. Diah. Padahal berdasarkan kesepakatan kongres, yang sebenarnya terpilih ketika itu adalah Rosihan Anwar, pimpinan Redaksi Pedoman, karena dianggap lebih independen dibandingkan B.M. Diah. Seperti yang dikabarkan Atmakusumah, “B.M. Diah pernah menjadi Menteri Penerangan, Duta Besar di Thailand dan Duta Besar di Inggris, jadi kami rasa, dia orang pemerintah (hlm. 47).

Namun harus diakui, dari perpecahan dua kubu itulah Tempo kemudian lahir.
Seperti yang digambarkan Janet dalam satu frame besar; ada gejolak, strategi bertahan hidup, insiden tak terduga, konflik internal, pasar, profesionalisme. Bahkan, dalam tubuh Tempo juga pernah mengalir penggalan-penggalan puisi.

Label: , ,


Ut enim ad minim veniam, consectetur adipisicing elit, ullamco laboris nisi. Ut labore et dolore magna aliqua. Cupidatat non proident, sunt in culpa velit esse cillum dolore. Qui officia deserunt in reprehenderit in voluptate ullamco laboris nisi. Lorem ipsum dolor sit amet, sunt in culpa eu fugiat nulla pariatur.

Sed do eiusmod tempor incididunt velit esse cillum dolore excepteur sint occaecat. Duis aute irure dolor. Ut enim ad minim veniam, excepteur sint occaecat ullamco laboris nisi. Duis aute irure dolor cupidatat non proident, consectetur adipisicing elit.Sed do eiusmod tempor incididunt velit esse cillum dolore excepteur sint occaecat. Duis aute irure dolor. Ut enim ad minim veniam, excepteur sint occaecat ullamco laboris nisi. Duis aute irure dolor cupidatat non proident, consectetur adipisicing elit.