Selasa, 13 Mei 2008

Laskar Pelangi; Realitas Pendidikan Kita dan Keseharian Indonesia

Judul : Laskar Pelangi
Penulis : Andrea Hirata
Penerbit : Bentang Pustaka
Tebal : 529 halISBN : 979-3062-79-7

Kami sangat menyukai pelangi. Bagi kami pelangi adalah lukisan alam, sketsa Tuhan yang mengandung daya tarik mencengangkan. Tak tahu siapa di antara kami yang pertama kali memulai hobi ini, tapi jika musim hujan tiba kami tak sabar menunggu kehadiran lukisan langit manakjubkan itu. Karena keragaman kolektif terhadap pelangi maka Bu Mus menamai kelompok kami Laskar Pelangi (hal 160).

Masa kecil selalu indah untuk dikenang. Tanpa disadari apa yang kita alami di masa kecil akan membentuk kita pada hari ini. Apa yang kita lakukan hari ini, bagaimana cara pandang hidup kita terhadap hidup ini, semua terbentuk saat masa kecil.Novel ini diangkat dari memoar masa kecil penulisnya – Andrea Hirata – atau tokoh Ikal dalam novel ini yang dengan apik mengolah pengalaman masa kecilnya bersama Laskar Pelangi menjadi suatu novel yang memikat dan menyentuh secara emosional bagi siapapun yang membacanyaLaskar Pelangi bertutur tentang petualangan kesebelas anak kampung Melayu Belitong yang hidup dalam kemelaratan.
Mereka secara tidak disengaja dipersatukan ketika sama-sama memasuki bangku sekolah di kampungnya. Novel ini diawali dengan kisah dramatis penerimaan murid baru di sekolah miskin SD Muhammadiyah yang merupakan satu-satunya sekolah yang ada di kampung tersebut. Sebuah sekolah yang terpinggirkan dan hampir saja ditutup jika tak memenuhi kuota menerima 10 orang murid SD di tahun ajaran pertamanya.Pada detik-detik terakhir menjelang batas waktu penerimaan murid baru usai kuota itu belum juga terpenuhi, para guru dan calon murid yang menunggunya sudah siap menelan kekecewaan tak bisa bersekolah karena sekolahnya akan ditutup..Untunglah di detik-detik terakhir muncul seorang calon murid yang memungkinkan sekolah tersebut bisa terus berjalan.Kesepuluh anak inilah yang merupakan cikal-bakal terbentuknya Laskar Pelangi.

Sembilan tahun bersama –sama (6 tahun SD dan 3 tahun SMP) dalam kelas dan bangku yang sama membuat ikatan persahabatan diantara mereka semakin erat, begitupun ikatan dengan guru dan sekolahnya yang membuat mereka saling melengkapi dan dengan kreativitasnya masing-masing membela dan memperjuangkan sekolah mereka dari pandangan rendah sekolah-sekolah lain diluar kampung mereka yang telah mapan.Keragaman karakter Laskar Pelangi yang terjaga kekonsistenannya hingga akhir cerita membuat alur cerita dalam novel ini semakin menarik. Sebut saja tokoh Lintang si super jenius, Mahar sang seniman, Flo anak tomboi gedongan yang memutuskan untuk bergabung dengan Laskar Pelangi, Sahara gadis yang judes, Kucai yang bercita-cita jadi politikus, Samson yang perkasa, Syahdan yang ingin jadi aktor Akiong yang pengugup, Harun “anak kecil yang terperangkap dalam tubuh dewasa”, Trapani, pria yang tampan dan lembut, Borek si pengacau, dan Ikal si pemimpi yang merupakan tokoh yang bercerita dalam novel ini.

Memang tak semua anggota Laskar Pelangi mendapat porsi yang sama kemunculannya dalam novel ini, selain Ikal si pencerita tokoh Lintang mendapat porsi yang cukup banyak. Lintang si anak kuli kopra yang jenius yang harus bersepeda sejauh 80 klilometer pulang pergi untuk memuaskan dahaganya akan ilmu membuat pembaca novel ini termotivasi semangatnya untuk terus mengejar ilmu tanpa menyerah. Berkat kejeniusannya Lintang kelak akan mengharumkan nama sekolahnya dalam lomba cerdas cermat yang diikuti oleh sekolah-sekolah terkenal di sekitar kampungnya.

Lalu ada tokoh Mahar seorang anak yang imajinatif, kreatif yang walaupun sering mendapat ejekan dari teman-temannya namun berhasil mengangkat derajat sekolahnya dalam karnaval 17 Agustus. Selain itu kesembilan orang Laskar Pelangi yang lain pun dalam novel ini dikisahkan begitu bersemangat dan berjuang dalam menjalani hidup dan berjuang meraih cita-cita.
Keseluruhan kisah Laskar Pelangi ini tersaji dengan sangat memikat. Pembaca akan dibuat tercenung, menangis dan tertawa bersama kepolosan dan semangat juang para Laskar Pelangi.Namun tak hanya itu saja, novel ini juga sangat berpotensi untuk memperluas wawasan pembacanya. Deskripsi lingkungan Kampung Melayu Belitong yang dideskripsikan secara jelas dan memikat membuat pembaca novel ini akan mengetahui kondisi lingkungan dan kondisi sosial budaya masyarakat Kampung Melayu Belitong yang hidup dibawah garis kemiskinan yang ironisnya ternyata hidup berdampingan dengan komunitas masyarakat gedong PN Timah yang hidup dengan segala kemewahan dan fasilitas yang lebih dari cukup.

Novel ini juga memuat glossarium lebih dari seratus entri yang sebagian besar berisi entri nama-nama latin tumbuh-tumbuhan, hewan, mineral yang ada dalam perut bumi, makanan, istilah ekonomi, budaya dan lainnya.Dari segi alur cerita novel ini sepertinya akan memikat pembacanya untuk segera menyelesaikan novel inspiratif ini. Kalimat-kalimatnya enak dibaca dan mengalir secara lancar.

Namun kemunculan nama-nama latin dari tumbuh-tumbuhan sepertinya akan membuat kelancaran membaca novel ini menjadi sedikit tersendat. Selain itu eksplorasi tokoh Lintang yang jenius disaat berdebat dengan seorang guru dari kota pada saat lomba cerdas cermat terasa tidak logis bagi seorang anak SMP karena di bagian ini Lintang dengan fasih memaparkan prinsip-prinsp optik Descrates, Newton, sampai Hooke.Namun karena kisah ini dikemas dalam bentuk fiksi maka batas antara fakta dan fiksi kiranya tak perlu diperdebatkan. Pada intinya novel Laskar Pelangi menyampaikan pesan mulia bahwa kemiskinan bukanlah alasan untuk berhenti belajar dan bukan tak mungkin sebuah sekolah kecil dengan segala keterbatasannya ternyata mampu melahirkan kretaivitas-kreativitas yang melampaui sekolah-sekolah favorit yang telah mapan baik dari segi fisik maupun pengajarannya.


Selain itu kehadiran Novel Laskar Pelangi ini setidaknya akan membuktikan bahwa penulis lokal mampu menghasilkan sebuah novel yang menggugah dan inspiratif yang selama ini sepertinya didominasi oleh penulis-penulis asing. []

Label: , ,

Read more..!

Kalatidha

Judul : Kalatidha
Penulis : Seno Gumira Ajidarma
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : Pertama, Januari 2007 Tebal : 234 hlm

Peristiwa Gerakan 30 September atau lebih dikenal dengan sebutan G 30 S - kini lebih sering ditulis tanpa PKI, sebab keterlibatannya masih perlu pembuktian - telah tercatat dalam perjalanan bangsa ini sebagai sejarah yang penuh luka. Masih begitu banyak misteri yang belum benar-benar terungkap di baliknya. Namun, yang jelas peristiwa tersebut memakan banyak korban jiwa anak bangsa yang mungkin tak terlibat sama sekali. Barangkali berpuluh buku telah ditulis - fiksi dan non fiksi - ihwal insiden berdarah itu dalam berbagai versi. Satu yang paling mutakhir adalah novel Kalatidha buah tangan Seno Gumira Ajidarma. Kalatidha mengandung makna “zaman rusak”; dinukil dari salah satu syair karya Ranggawarsita (1802-1873) : Masih dengan ciri khasnya mencampuradukkan realis dan surealis, Seno membangun cerita dalam dua bagian : masa lalu dan masa kini.Adalah aku tokoh utama dalam buku ini, seorang pengusaha yang tengah menjalani hukuman penjara lantaran aksinya membobol bank terbongkar. Di dalam selnya ia berkesempatan memutar kembali ingatannya ke masa silam berkat guntingan-guntingan berita di koran milik kakak perempuannya yang berhasil ia selundupkan. Melalui kliping koran itu, terkuaklah beberapa hal dari masa lalunya yang bersangkutan dengan peristiwa G30 S.Dari sinilah Seno menyelipkan inti kisahnya seputar G 30 S. Sebuah luka sejarah yang menyisakan sejumlah trauma, dendam, dan sakit hati bagi korban dan keluarganya. Pernah satu masa di negeri yang mencantumkan sila kemanusiaan yang adil dan beradab pada urutan kedua dasar negaranya ini terjadi pembantaian manusia secara besar-besaran dalam sebuah upaya kudeta.

Sampai sekarang jumlah korban yang mati masih simpang-siur. Ada sumber yang menyebut ratusan ribu, tetapi ada pula yang yakin bahwa angkanya mencapai jutaan. Wallahualam. Selain yang mati, banyak juga yang dibui tanpa pernah diadili terlebih dahulu. Sebagian tapol (tahanan politik) itu dibuang ke Pulau Buru dan Nusa Kambangan. Termasuk sastrawan Pramoedya Ananta Toer.

Di novel ini, korbannya adalah seorang gadis cantik. Keluarganya dihabisi di depan mata kepalanya Termasuk saudara kembarnya. Rumah mereka dibakar massa. Ia sendiri berhasil selamat walaupun akhirnya menjadi gila. Dalam kegilaan, ia melampiaskan dendam kesumatnya kepada orang-orang yang telah membakar rumah dan membantai keluarganya. Namun, dalam kegilaannya masih juga ia diperlakukan secara kejam dan tak senonoh dari orang-orang di sekitarnya. Jika begini, entahlah, siapa yang lebih gila. Atau memang zaman sudah gila. Dunia dipenuhi orang-orang gila.
mengalami zaman gilahati gelap kacau pikiranmau ikut gila tak tahanjika tidak ikut tak kebagian

Sebetulnya, kisah ini akan jadi lebih menarik andaikata Seno hanya berpijak di wilayah real. Dengan mengikutsertakan juga wilayah sureal jadi terkesan Seno pingin cari gampangnya saja. Seperti dongeng, bermain-main dengan logika, dan terasa “kurang serius”. Tidak seperti pada Negeri Senja (2005) yang sureal total, Kalatidha membikin kita jumpalitan meloncat-loncat antara yang real dan sureal. Bagi saya cukup melelahkan, meskipun sedikit terhibur juga oleh beberapa adegan ala cersil (cerita silat).

Label: , , ,

Read more..!

Linguage, Pernahkah Lidah Tidak Berbohong?

Judul buku : Linguage
Penulis : Seno Gumira Ajidarma
Tahun terbit: 2008

Linguae artinya lidah. Cerpen “Linguae” dalam kumcer berjudul sama karya Seno Gumira Ajidarma ini bercerita tentang makna lidah bagi manusia. Bagaimana nasib para pecinta jika organ tubuh yang satu ini hilang? Begitu banyak peran lidah yang tak dapat digantikan oleh organ lain seperti dengkul, misalnya. Cerpen ini berkisah, dalam sebuah percintaan, lidah memang menyatakan segalanya dengan lebih nyata daripada kata-kata dalam tatabahasa sempurna mana pun di dunia.

Tiga belas cerpen lainnya mengungkapkan beraneka kisah. “Cintaku Jauh di Komodo” bercerita tentang cinta yang tak pernah hilang di antara dua manusia yang terus bereinkarnasi sepanjang masa. Bahkan, sampai salah satu dari mereka berubah wujud menjadi komodo! “Rembulan dalam Cappucino” mengisahkan seorang perempuan yang baru cerai dengan suaminya memesan capucinno dengan rembulan terapung di dalam cangkirnya. Silakan menerjemahkan dengan bebas metafora rembulan yang diungkap SGA dalam cerpen ini. Sementara, cerpen “Joko Swiwi” adalah cerpen yang sangat imanjinatif dalam buku ini. Dikisahkan, seorang anak lahir dengan sayap di tubuhnya. Ia menjadi pahlawan di kampungnya, namun pada akhirnya mesti terusir dari sana karena suatu pengkhianatan.Cerpen-cerpen lainnya ditulis dengan gaya bercerita SGA yang khas, unik, dan penuh imajinasi yang tak terduga.

Label: , ,

Read more..!

Misteri Pedang Skinheald II, Awal Petualangan Besar

Penulis: A. Ataka Awwalur Rizqi
Penerbit : Alenia
Edisi : Soft Cover Tgl Penerbitan : Januari 2007
Halaman : xii + 660 hlm
Resensi oleh: Irwan Bajang

Apa jadinya jika dua manusia, satu penyihir, satu Elf (peri/jin), dan Dwarf (manusia kate) bersatu dalam epik petualangan besar? Dengan membentuk barisan Lima Sekawan, tiga ras mahluk berbeda tersebut membelah benua Ethav Andurin untuk menyelamatkan dunia dari hitamnya kejahatan Baron, Topeng Kematian, Sepuluh Setan, dan Gilford sang Jendral Kegelapan. Selain itu, dari Burton menuju pulau Fa, perjalanan Lima Sekawan juga dihadang oleh gerombolan Goblin yang kejam dan licik serta sadisnya para Canibalic Man.

Novel Misteri Pedang Skinheald II Awal Petualangan Besar ini, akan membawa kita pada pilihan-pilihan keputusan Lima Sekawan dalam menghadapi peliknya kehidupan dunia antah berantah. Sebuah dunia yang berisi berbagai macam ras dan mahluk dengan karakter yang berbeda-beda seperti: manusia-manusia penggosip yang hidup di kota Hurton dengan walikotanya yang bodoh; penduduk Mariatta yang beradab, santun, ramah dan sangat mencintai tradisi masa lampau; penduduk desa Tron yang suka mencatat sejarah desa; Kaum Dwarf, yang mencintai kesenian dan gandrung akan seni bangunan tata kota; Golongan Elf yang terkenal dengan seni pembuatan pedang; Drak Elf, mahluk kutukan yang dipimpinan King dan bisa bicara dengan burung karena mempunyai sihir tingkat tinggi; mahluk-mahluk buas di Padang Rumput dekat Pegunungan Mentari; Thel, manusia Kucing Laut yang jujur dan tidak bisa berbohong; Ava si manusia naga; Utward, mahluk Gostmorgana yang tidak bisa mati; Falcon dan Filder, burung-burung raksasa seperti naga yang dimanfaatkan oleh golongan penyihir hitam dan mahluk-mahluk antah berantah lainnya.

Sementara Robin, yang mulanya guru muda di sekolah biologi Ayo Bertanam Singkong, karena angka kelahirannya membuat dirinya terseret ke dalam peperangan besar membasmi kejahatan karena dialah satu-satunya manusia yang ditakdirkan sebagai pembuka segel Pedang Skinheald. Lalu bisakah Eric, sang Kesatria Selatan dan Hayflay penyihir Putih Kelabu, juga Alva (Elf), serta Oni (Dwarf), mengawal Robin sampai ke pulau Fa untuk membuka segel Pedang Skinheadl di atas bukit Launcher?

Ya, Ahmad Ataka Awwalur Rizqi (Ataka), penulis cilik berumur 14 tahun yang masih duduk di kelas IX, SMP 5 Yogyakarta, begitu cermat, detail, dan dramatik mengisahkan epik petuangan besar Lima Sekawan dalam novel Misteri Pedang Skinheald II yang tebalnya sampai 660 halaman.

Label: , ,

Read more..!

Jumat, 09 Mei 2008

Alquran Kitab Sastra Maha Menggugah

Judul Buku: Bahasa dan Sastra dalam Al Qur’an
Pengarang: Drs. Akhmad Muzzaki, M.A & Dr. Syuhadak
Penerbit: UIN-Malang Press, 2006
Tebal Buku: 118 Halaman


Bukanlah hal yang asing lagi bahwa Al Qur’an merupakan kitab suci umat Islam yang diturunkan Allah SWT kepada Rasulullah dengan perantara malaikat Jibril. Kitab ini merupakan petunjuk dan aturan hidup paling sempurna, yang syarat dengan keindahan dan ketentraman. Al Qur’an juga diakui memiliki susunan irama yang khas dan bisa ditangkap dengan menganilis struktur kebahasaaannya. Ini berarti bahwa persoalan Tuhan menurunkan Al Qur’an tidaklah persoalan sederhana. Pada hakikatnya ia merupakanfirman Tuhan. Dan firman Tuhan ini erat kaitannya dengan persoalan linguistik.

Dengan terbitnya buku ‘Bahasa dan Sastra dalam Al Qur’an’ seakan mengingatkan kita kembali betapa Al Qur’an merupakan kitab sastra tiada duanya sepanjang sejarah umat manusia. Meski bukan sebuah karya yang sempurna dan utuh, namun buku ini memberikan sedikit gambaran awal tentang berjuta keindahan bahasa yang menyelimuti setiap irama dan makna dalam Al Qur’an. Hal ini akan dengan mudah dibenarkan. Bahkan, Doktor Taha Husain, seorang sastrawan Mesir pernah menyatakan, “Al Quran lebih baik daripada prosa dan syair, karena keistimewaan yang dimilikinya tidak bisa ditemukan dalam prosa atau syair manapun. Oleh karena itu, Al Quran tidak bisa disebut sebagai prosa, tidak pula bisa disebut syair. Al Quran adalah Al Quran, dan tidak bisa disamakan dengan apapun.”

Kehidupan Arabia
Sebagai bagian dari karya sastra, kedatangan Al Qur’an tidak bisa dilepaskan dari konteks sosial yang menghadirkannya. yaitu masyarakat Arab. Karena selain sebagai ‘wahyu’ yang diturunkan kepada Rasulullah, Al Qur’an juga merupakan produk budaya hasil adaptasi dengan masyarakat.

Kondisi masyarakat Arab sebelum kedatangan Islam bisa dibilang begitu memprihatinkan. Kondisi Arab yang berupa gurun pasir yang tandus membuat mereka terlibat banyak perselisihan-yang terjadi antara satu kabilah dengan kabilah lainnya. Kenyataan semacam itu membuat mereka dipaksa untuk lebih mengandalkan kekuatan fisik dalam menghadapi kenyataan. Di samping itu kerasnya kondisi gurun pasir membuat mereka di hantui rasa ketakutan dan putus asa yang luar biasa. Maka untuk meneguhkan hati, mereka mengabdikan diri mereka pada dewa-dewa atau tahayyul-tahayyul yang mereka yakini bisa memberi kekuatan dan kemakmuran. Kecenderungan inilah yang kemudian popoler dengan sebutan masyarakat jahiliah.

Namun di balik watak keras itu, mereka juga dikenal memiliki pencitraan jiwa yang halus dan suka sekali dengan sastra (syair). Keahlian menggubah nyair merupakan suatu kebanggan tersendiri, karena setiap kabilah akan menempatkan golongan yang pandai bersyair pada posisi terhormat. Tidak mengherankan kalau bermunculan sastrawan ternama, sebut saja A’sya dan Harits Bin Hilliah al-Yasykari. Mereka biasanya mengekspresikan syair mereka di tempat keramaian. Tempat yang paling menonjol adalah pasar Ukaz-yang terletak di antara Tha’if dan Nakhlak. Bahkan syair-syair yang diakuai bermutu digantung di atas Ka’bah.

Kedatangan Al Qur’an
Kenapa Islam diturunkan di Arab, dan kenapa Al Quran harus menggunakan bahasa Arab? Merupakan pertanyaan pelik yang secara tidak langsung ingin dijawab oleh buku ini. Meskipun tidak secara komprehensif dan sistematis. Pembacaaan Al Qur’an yang fasih terhadap geo-kultural Arab membuat setiap diksi yang ada dalam Al Qur’an membuat masyarakat Arab langsung ‘tersihir’. Segala dinamika kehidupan masyarakat Arab, mulai dari kebiasaan mereka berdagang (Tajir), sampai kepada hal-hal krusial dalam pribadi mereka, oleh Al Quran dipaparkan dengan cara yang istimewa. Sebut saja misalnya air dan taman yang sejuk, juga wanita. Al Qur’an membaca ini dengan melakukan penguraian tentang Surga dan Neraka dengan sangat brilian. Surga digambarkan sebagai tempat yang dipenuhi sumber air, tempat yang rindang dan dipenuhi dengan bidadari-bidadari cantik. Sedangkan Neraka digambarkan seperti perkampungan api, dimana tidak seorang pun bisa keluar dan membebaskan diri darinya. Sungguh merupakan metaforis yang luar biasa menggugah. Dan apa yang dilakukan oleh Al Qur’an, melalui Muhammad SAW memberikan bukti kongkret bahwa ada Dzat Tunggal yang lebih mengetahui tentang bahasa dan sastra ketimbang mereka. Dzat yang tak henti mengawasi mereka kemanapun mereka pergi, apapun yang mereka perbuat.

Buku Bahasa dan Sastra dalam Al Quran, yang juga menggunakan pendekatan Saussurian, paling tidak telah mencoba hadir sebagai garis tegas bahwa sejarah juga adalah kepentingan, seperti apa yang pernah dikatakan Gramsci. Pun dalam konteks hegemoni politik dan sosial, Al Qur’an tidak luput dari kepentingan itu, dalam hal ini kepentinga yang bertanggung jawab, yaitu sebuah upaya pelurusan tindak-tanduk manusia terhadap cara-cara hidup tak beradab.

Meski masih bayak kekurangan, buku ini memberikan cukup banyak ruang untuk membuka lebih lebar gerbang interpretasi perihal kemurnian Al Quran. Paling tidak telah mengenalkan fondasi awal Al Quran dari aspek kesusastraan. Buku ini seolah berulang-ulang berbisik kepada kita bahwa Al Quran merupakan kitab sastra paling estetis dan menggugah. Seperti disinggung oleh Al Qur’an sendiri, “Katakanlah, seandainya manusia dan jin berhimpun untuk menyusun semacam Al Qur’an ini mereka tidak akan mampu untuk menyusunnya, walaupun mereka saling membantu.” (QS. 17:88).

Label: , ,

Read more..!

Legenda Hidup Sebelum Mei '98

Judul Buku: Wars Within, Pergulatan Tempo, Majalah Berita Sejak Zaman Orde Baru Penulis: Janet Steele
Penerbit
: Dian Rakyat
Cetakan
: Agustus 2007
Jumlah Hal
: xxxiv + 302


”Soeharto turun terlalu cepat!”
Kalimat tersebut diucapkan Goenawan Moehammad (GM) di hadapan Janet Steele, di sebuah kedai terbuka, 20 juni 1998. “Kalimat GM itu terdengar di sela-sela hujan yang jatuh di atas atap yang bergelombang,” Terang Janet. GM kemudian melanjutkan, “jika dia (Soeharto) bertahan lebih lama, kami mungkin bisa mendapat infrastruktur demokrasi yang lebih baik, tapi ia pergi terlalu mudah, terlalu cepat, dan kini kami tinggal dengan kekuatan oposisi yang kacau. GM sadar betul dengan kekecewaan yang ia rasakan, “saya kira kekecewaan selalu mucul setelah setelah semua revolusi.” Kata GM. "Penggalan percakapan GM dan Janet Steele tersebut pertama kali digambarkan pada prolog Wars Within. Janet Steele—sang indonesianis mendapat kesempatan melakukan penelitian tentang pergulatan Majalah Tempo sepanjang Orde Baru. Janet menghabiskan waktu sekitar 6 bulan untuk penelitian. Bermula dari “hononary Fullbrighter” yang membawanya kembali ke Indonesia pada Mei 1999, setahun setelah Soeharto Jatuh.

Sebelumnya Janeet mengaku pernah menulis tentang surat kabar Amerika abad ke-19 bernama New York Sun. Pemimpin Redaksinya, Charles A. Dana meninggal seratus tahun sebelum dia menyelesaikan buku itu (hlm. xvii). New York Sun dan Tempo, berarti juga Charles A. Dana dan GM. Bedanya adalah GM, sang Pemimpin Redaksi, sekaligus salah satu pendiri Tempo masih hidup, bahkan sampai sekarang. Sesuatu yang menandakan bahwa Tempo—sesungguhnya adalah legenda yang hidup.

Tempo adalah anak sah dari Orba. Didirikan pada tahun 1971. Sebelumnya, tahun 1966, terjadi gelombang hebat gerakan mahasiswa dan Militer. Dua kekuatan tersebut berhasil mengakhiri Demokrasi Terpimpin Presiden Soekarno.

Ada alasan tepat mengatakan Tempo adalah anak sah Orba—bahwa Tempo didirikan oleh aktivis angkatan 66, dan aktivis mahasiswa 66 ketika itu adalah saudara kandung Militer. Jadi tidak asing sejak awal berdirinya, Tempo punya “banyak saudara” di militer.
Namun pada “ruh” yang dibawanya , Tempo ternyata “durhaka” dan mengambil jalan berseberangan dengan saudaranya, hampir seratus delapan puluh derajat! Militer menjadi kaki tangan Soeharto, sedangkan Tempo memutuskan menjadi oposisi paling “romantis” sepanjang sejarah perlawanan pers di Indonesia. Tempo tetap membela pemikiran kritis—ciri umum dari kehidupan demokrasi. Spirit itu menyebabkan Tempo beberapa kali hampir dibredel, beberapa kali lolos, termasuk pada peristiwa Malari 1974, namun setelah peristiwa Malari, hubungan Tempo dan pemerintah bertambah kompleks dan menghawatirkan bagi eksistensi Tempo sendiri.

Berbagai strategi mulai diformulasi sehalus mungkin, GM percaya, salah satu keuntungan majalah mingguan seperti halnya Tempo adalah berita ‘panas” akan dengan sendirinya “dingan” setelah beberapa hari. “Majalah akan menekan pemerintah ketika pemerintah sedang lemah, kami menahan diri ketika pemerintah sedang kuat,” kata GM ketika diwawancara Janet tanggal 9 Februari 1998, sebulan sebelum reformasi (hlm. 84). Pemerintah terlalu kuat. Tempo sangat hati-hati. Akan sangat fatal jika ada kesalahan sedikit saja, misalnya dalam hal pemilihan berita. Bahkan kutipan sedikit ekstrim saja bisa membunuh Tempo dalam sekejap.
Meski berada dalam tekanan, wartawan Tempo bukan tak punya kemampuan untuk menolak pandangan pemerintah, meminjam kata Thoriq, “menyelip-nyelipkan (fakta) belakangan” (hlm. 86).

Dari sana, Tempo berhasil melakukan semi-investigasi sampai invertigasi menyeluruh pada banyak kasus kontroversial yang melibatkan pemerintah, sebuah inovasi heroik untuk pers di bawah Orba. Kasus Tanjung Priok adalah salah satunya.
Laporan Tempo, September 1984 terkait kasus Tanjung Priok ketika itu bebeda resmi dengan versi pemerintah. Laporan resmi menyebutkan, sembilan muslim mati ditembak tentara Indonesia, 55 terluka. Menurut Tempo, jumlah korban tewas lebih banyak, 28 orang—sesuatu yang dianggap berani sehingga banyak yang mengira majalah itu akan dibredel (hlm. 99). Ternyata tidak, belum. Baru setelah memasuki tahun 1990-an, hubungan Tempo lebih “kacau” lagi dengan pemerintah. Majalah itu seperti tinggal menunggu ajal.

21 Juli 1994, Tempo dituduh keluar dari “prinsip pers Pancasila,“ diksi lain dari “pers yang berbahaya bagi pengamanan ruang kekuasaan dan harus dibredel” Departemen Penerangan mengeluarkan Surat Izin Penerbitan Pers (SUIPP) kepada Tempo dengan alasan tidak wajar. Jelas sudah, Tempo dibredel lagi untuk kedua kalinya. Pertama kali pada 1982. Anehnya, tidak pernah ada yang tahu siapa yang sebenarnya membredel Tempo, beberapa kalangan, termasuk Bambang Harimoekti meyakini Menteri Penerangan Harmoko yang paling bertangung jawab, yang lain mengatakan B.J. Habibie, yang lain lagi mengatakan itu keputusan Soeharto sendiri (hlm. 217).

Janet harus kita akui sebagai narator yang hebat. Wars Within bahkan mirip gaya penulisan Tempo ketika mengangkat isu-isu yang dipandang sensitif oleh pemerintah.
Selain itu, ada banyak variabel sosial politik yang tersentuh Janet. Titik balik paling penting bagi Tempo sendiri adalah perpecahan di tubuh Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) pada 3 November 1970. Perpecahan tersebut dilatarbelakangi intervensi Oprasi Khusus (Opsus) tentara pada kongres organisasi PWI di Palembang. Mereka berusaha menempatkan B.M. Diah di pucuk pimpinan PWI dengan melakukan pertemuan di hotel yang sama dan kemudian memilih B.M. Diah. Padahal berdasarkan kesepakatan kongres, yang sebenarnya terpilih ketika itu adalah Rosihan Anwar, pimpinan Redaksi Pedoman, karena dianggap lebih independen dibandingkan B.M. Diah. Seperti yang dikabarkan Atmakusumah, “B.M. Diah pernah menjadi Menteri Penerangan, Duta Besar di Thailand dan Duta Besar di Inggris, jadi kami rasa, dia orang pemerintah (hlm. 47).

Namun harus diakui, dari perpecahan dua kubu itulah Tempo kemudian lahir.
Seperti yang digambarkan Janet dalam satu frame besar; ada gejolak, strategi bertahan hidup, insiden tak terduga, konflik internal, pasar, profesionalisme. Bahkan, dalam tubuh Tempo juga pernah mengalir penggalan-penggalan puisi.

Label: , ,

Read more..!


Ut enim ad minim veniam, consectetur adipisicing elit, ullamco laboris nisi. Ut labore et dolore magna aliqua. Cupidatat non proident, sunt in culpa velit esse cillum dolore. Qui officia deserunt in reprehenderit in voluptate ullamco laboris nisi. Lorem ipsum dolor sit amet, sunt in culpa eu fugiat nulla pariatur.

Sed do eiusmod tempor incididunt velit esse cillum dolore excepteur sint occaecat. Duis aute irure dolor. Ut enim ad minim veniam, excepteur sint occaecat ullamco laboris nisi. Duis aute irure dolor cupidatat non proident, consectetur adipisicing elit.Sed do eiusmod tempor incididunt velit esse cillum dolore excepteur sint occaecat. Duis aute irure dolor. Ut enim ad minim veniam, excepteur sint occaecat ullamco laboris nisi. Duis aute irure dolor cupidatat non proident, consectetur adipisicing elit.