Jumat, 09 Mei 2008

Alquran Kitab Sastra Maha Menggugah

Judul Buku: Bahasa dan Sastra dalam Al Qur’an
Pengarang: Drs. Akhmad Muzzaki, M.A & Dr. Syuhadak
Penerbit: UIN-Malang Press, 2006
Tebal Buku: 118 Halaman


Bukanlah hal yang asing lagi bahwa Al Qur’an merupakan kitab suci umat Islam yang diturunkan Allah SWT kepada Rasulullah dengan perantara malaikat Jibril. Kitab ini merupakan petunjuk dan aturan hidup paling sempurna, yang syarat dengan keindahan dan ketentraman. Al Qur’an juga diakui memiliki susunan irama yang khas dan bisa ditangkap dengan menganilis struktur kebahasaaannya. Ini berarti bahwa persoalan Tuhan menurunkan Al Qur’an tidaklah persoalan sederhana. Pada hakikatnya ia merupakanfirman Tuhan. Dan firman Tuhan ini erat kaitannya dengan persoalan linguistik.

Dengan terbitnya buku ‘Bahasa dan Sastra dalam Al Qur’an’ seakan mengingatkan kita kembali betapa Al Qur’an merupakan kitab sastra tiada duanya sepanjang sejarah umat manusia. Meski bukan sebuah karya yang sempurna dan utuh, namun buku ini memberikan sedikit gambaran awal tentang berjuta keindahan bahasa yang menyelimuti setiap irama dan makna dalam Al Qur’an. Hal ini akan dengan mudah dibenarkan. Bahkan, Doktor Taha Husain, seorang sastrawan Mesir pernah menyatakan, “Al Quran lebih baik daripada prosa dan syair, karena keistimewaan yang dimilikinya tidak bisa ditemukan dalam prosa atau syair manapun. Oleh karena itu, Al Quran tidak bisa disebut sebagai prosa, tidak pula bisa disebut syair. Al Quran adalah Al Quran, dan tidak bisa disamakan dengan apapun.”

Kehidupan Arabia
Sebagai bagian dari karya sastra, kedatangan Al Qur’an tidak bisa dilepaskan dari konteks sosial yang menghadirkannya. yaitu masyarakat Arab. Karena selain sebagai ‘wahyu’ yang diturunkan kepada Rasulullah, Al Qur’an juga merupakan produk budaya hasil adaptasi dengan masyarakat.

Kondisi masyarakat Arab sebelum kedatangan Islam bisa dibilang begitu memprihatinkan. Kondisi Arab yang berupa gurun pasir yang tandus membuat mereka terlibat banyak perselisihan-yang terjadi antara satu kabilah dengan kabilah lainnya. Kenyataan semacam itu membuat mereka dipaksa untuk lebih mengandalkan kekuatan fisik dalam menghadapi kenyataan. Di samping itu kerasnya kondisi gurun pasir membuat mereka di hantui rasa ketakutan dan putus asa yang luar biasa. Maka untuk meneguhkan hati, mereka mengabdikan diri mereka pada dewa-dewa atau tahayyul-tahayyul yang mereka yakini bisa memberi kekuatan dan kemakmuran. Kecenderungan inilah yang kemudian popoler dengan sebutan masyarakat jahiliah.

Namun di balik watak keras itu, mereka juga dikenal memiliki pencitraan jiwa yang halus dan suka sekali dengan sastra (syair). Keahlian menggubah nyair merupakan suatu kebanggan tersendiri, karena setiap kabilah akan menempatkan golongan yang pandai bersyair pada posisi terhormat. Tidak mengherankan kalau bermunculan sastrawan ternama, sebut saja A’sya dan Harits Bin Hilliah al-Yasykari. Mereka biasanya mengekspresikan syair mereka di tempat keramaian. Tempat yang paling menonjol adalah pasar Ukaz-yang terletak di antara Tha’if dan Nakhlak. Bahkan syair-syair yang diakuai bermutu digantung di atas Ka’bah.

Kedatangan Al Qur’an
Kenapa Islam diturunkan di Arab, dan kenapa Al Quran harus menggunakan bahasa Arab? Merupakan pertanyaan pelik yang secara tidak langsung ingin dijawab oleh buku ini. Meskipun tidak secara komprehensif dan sistematis. Pembacaaan Al Qur’an yang fasih terhadap geo-kultural Arab membuat setiap diksi yang ada dalam Al Qur’an membuat masyarakat Arab langsung ‘tersihir’. Segala dinamika kehidupan masyarakat Arab, mulai dari kebiasaan mereka berdagang (Tajir), sampai kepada hal-hal krusial dalam pribadi mereka, oleh Al Quran dipaparkan dengan cara yang istimewa. Sebut saja misalnya air dan taman yang sejuk, juga wanita. Al Qur’an membaca ini dengan melakukan penguraian tentang Surga dan Neraka dengan sangat brilian. Surga digambarkan sebagai tempat yang dipenuhi sumber air, tempat yang rindang dan dipenuhi dengan bidadari-bidadari cantik. Sedangkan Neraka digambarkan seperti perkampungan api, dimana tidak seorang pun bisa keluar dan membebaskan diri darinya. Sungguh merupakan metaforis yang luar biasa menggugah. Dan apa yang dilakukan oleh Al Qur’an, melalui Muhammad SAW memberikan bukti kongkret bahwa ada Dzat Tunggal yang lebih mengetahui tentang bahasa dan sastra ketimbang mereka. Dzat yang tak henti mengawasi mereka kemanapun mereka pergi, apapun yang mereka perbuat.

Buku Bahasa dan Sastra dalam Al Quran, yang juga menggunakan pendekatan Saussurian, paling tidak telah mencoba hadir sebagai garis tegas bahwa sejarah juga adalah kepentingan, seperti apa yang pernah dikatakan Gramsci. Pun dalam konteks hegemoni politik dan sosial, Al Qur’an tidak luput dari kepentingan itu, dalam hal ini kepentinga yang bertanggung jawab, yaitu sebuah upaya pelurusan tindak-tanduk manusia terhadap cara-cara hidup tak beradab.

Meski masih bayak kekurangan, buku ini memberikan cukup banyak ruang untuk membuka lebih lebar gerbang interpretasi perihal kemurnian Al Quran. Paling tidak telah mengenalkan fondasi awal Al Quran dari aspek kesusastraan. Buku ini seolah berulang-ulang berbisik kepada kita bahwa Al Quran merupakan kitab sastra paling estetis dan menggugah. Seperti disinggung oleh Al Qur’an sendiri, “Katakanlah, seandainya manusia dan jin berhimpun untuk menyusun semacam Al Qur’an ini mereka tidak akan mampu untuk menyusunnya, walaupun mereka saling membantu.” (QS. 17:88).

Label: , ,

1 Comments:

  • Al-Qur’an: Kitab Sastra (Arab) Terbesar?!

    (Membedah Ide Sekularisasi Teks-teks Agama)

    Meski merasa sangat terlambat, baru-baru ini saya membaca buku berjudul: “Al-Quran Kitab Sastra Terbesar” yang ditulis saudara Dr. Phil. M. Nur Kholis Setiawan (staf pengajar pasca sarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta), sebagai terjemahan disertasi penulisnya di Orientalisches Seminar der Rheinischen Friedrich-Wilhelms- Universitat Bonn, Jerman. Buku setebal kurang lebih 331 halaman (lengkap dengan daftar pustaka dan indeks) dan dicetak oleh Elsaqq Press pada bulan Desember 2005 itu dipengantari dua orang promotor pembimbing disertasi. Promotor pertama berkebangsaan Mesir yang hengkang ke Belanda karena dianggap murtad oleh ulama-ulama Mesir yaitu Prof. Nasr Hamid Abu Zayd dan promotor kedua berkebangsaan Jerman, Prof. Stefan Wild, staf pengajar di University of Bonn, Germany.
    Buku itu mencoba menganalisis akar sejarah metode adabi (lebih tepatnya bayani, selain karena lebih dekat dengan wacana Alquran, juga karena istilah itu sudah mapan dalam tradisi kesarjanaan muslim. Lihat misalnya buku al-Jahizh yang berjudul al-Bayan wa al-Tabyin) dalam tradisi penulisan tafsir di kalangan sarjana-sarjana muslim. Sang penulis berusaha membongkar khazanah klasik yang berbicara tentang susastra dan menemukan bahwa pendekatan sastrawi terhadap Alquran bukan saja sah, tetapi juga sudah lama ada dan berkembang sejak era klasik Islam. Dengan sangat apresiatif Ustadz. Abu Zayd memuji karya ilmiah seorang “anak”, “saudara” dan “teman” yang ia bimbing sendiri.

    Kitab Sastra Arab Terbesar atau Kitab Kemanusiaan Universal?!

    Judul disertasi tersebut dalam edisi cetak Indonesianya mengingatkan saya kepada al-Ustadz (Prof.) Amin al-Khuly, sosok pakar sastra Arab yang kontroversial, selain karena bertanggung jawab membimbing M. A. Khalfallah dalam disertasi di Universitas Kairo berjudul:“al- Fann al-Qashashi fi al-Qur’an”, yang membuat geger dunia intelektual Mesir ketika itu, juga karena pernyataannya bahwa “Alquran adalah Kitab Sastra Arab terbesar!!”
    Alquran, menurutnya, harus diperlakukan sebagai kitab bahasa Arab yang terbesar (Kitab al-‘Arabiyyah al-Akbar, dalam versi lain al-Aqdas), maka hak-hak kebahasaannya harus dipenuhi terlebih dahulu sebelum maksud-maksud lain. Amin mengatakan bahwa secara ideal studi tafsir Alquran harus dibagi ke dalam dua kajian; (1) kajian sekitar Alquran (dirasah hawla Alquran), yang diarahkan pada aspek sosio-historis, geografis, kultural dan antropologis wahyu, dan (2) kajian terhadap Alquran itu sendiri, dirasah fi Alquran nafsih yang dimaksudkan pada pelacakan kata-kata semenjak pertama diturunkan, pemakaiannya dalam Alquran serta sirkulasinya dalam bahasa Arab. Al-Khuly memberi alasan bahwa Alquran datang dengan sebuah pakaian Arab (fi tsawbih al-Araby) dan karena itulah untuk memahami Alquran sesempurna mungkin kita harus mengetahui sebaik mungkin keadaan bangsa Arab ketika Alquran diturunkan. (Al-Khuly, Manahij Tajdid 1995:233-238)
    Sebenarnya tidak ada yang salah dengan pernyataan itu. Tetapi ia akan bermasalah, ketika kajian atas Alquran dilakukan hanya dengan mengakui satu metode saja yaitu metode kesusastraan dan mengeleminir validitas dan keabsahan berbagai pendekatan metode demi kesempurnaan pemahaman kita terhadap Alquran. Ia akan lebih bermasalah lagi jika, dengan dalih menangkap pemahaman yang objektif dan ilmiah terhadap Alquran, dijadikan salah satu entry point oleh kaum liberal untuk mensekularkan pandangan kaum muslim ketika berinteraksi dengan wahyu Allah yang abadi dan kekal itu.
    Oleh karena itu, tidaklah bijaksana jika para ilmuan dan pakar di bidang Alquran hanya berhenti di titik rawan itu. Dengan demikian tidaklah mengherankan jika murid-murid Al-Khuly sendiri juga mengembangkan pendapat gurunya untuk tidak terjebak pada penafsiran Alquran melalui pendekatan sastra sebagai sastra itu sendiri melainkan harus diupayakan sejauh mungkin sampai pada taraf kemanusiaan universal Alquran, seperti diadvokasikan Syukri ‘Ayyad (penulis buku Yawm al-Din wal Hisab: Dirasah Qur’aniyyah, yang berupaya mengaplikasi metodologi tafsir Amin al-Khuly) dan Iffat M. Syarqawi. Apalah artinya, desak Iffat, sebuah karya sastra yang kosong dari nilai-nilai kemanusiaan universal? Ia bahkan meminta supaya Alquran diposisikan sebagai Kitab al-Insaniyyah al-Akbar di samping Kitab al-‘Arabiyyah al-Akbar! (lihat gugatan sekaligus modifikasi murid-murid al-Khuly terhadap teori gurunya dalam buku Qadlaya Insaniyyah fi A’mal Al-Mufassirin, 1980:106, Yawm al-Din wal Hisab: Dirasah Qur’aniyyah hlm. 6, al-Fikr al-Dini fi Muwajahat al-‘Ashr hlm. 303, dan Ittijahat al-Tajdid fi Tafsir al-Qur’an al-Karim fi Mishr hlm. 513-515)
    Diskursus Tafsir Bayani dalam Kesarjanaan Islam Klasik Metode sastra sebagai pisau analisa memahami Alquran memang memiliki akar historis yang sangat kuat dibanding metode-metode yang lain. Hal itu bisa dimaklumi jika mengingat para ulama berbeda pandangan dalam menjelaskan ‘I’jaz Alquran’ dan aspek apa saja yang termasuk dalam lingkup kemukjizatannya. Tetapi satu hal yang tak dapat disangkal, kemukjizatan Alquran dari aspek sastra itu tidak pernah menjadi obyek perdebatan di kalangan para ulama. (Dr. ‘Aisyah Abdurrahman Bint al-Syathi’, Al-I’jaz Al-Bayani, hlm. 82)
    Mukjizat Muhammad saw berupa ‘Bayan’, karena ia diutus ke tengah-tengah komunitas bangsa Arab yang menjunjung tinggi nilai-nilai sastra. Alquran diturunkan di tengah-tengah bangsa Arab dan menantang mereka untuk membuat semisal Alquran. Ketidaksanggupan mereka melayani tantangan itulah yang menjadi bukti kebenaran risalah yang dibawanya. Di sinilah ayat-ayat Tahaddi (tantangan) menjadi kekuatan doktrinal tersendiri bagi upaya penelitian yang serius dalam bidang kemukjizatan Alquran di bidang sastra Arab dan juga metode tafsir sastrawi (bayani) dalam literatur keilmuan Islam.
    Alquran misalnya menantang bangsa Arab untuk membuat kalimat yang serupa (Q.s. at-Thur:34), sepuluh surat yang sama dengannya (Q.s. Hud:13), satu surat saja (Q.s. Yunus:38), dan terakhir satu surat yang mirip dengan Alquran (Q.s. Albaqoroh 23). Tetapi mereka tidak mampu melayani tantangan tersebut walaupun manusia dan jin bahu membahu untuk menyusun semisal Alquran. (Q.s. al-Isra’: 88) Alquran merekam keraguan mereka dan penilaian mereka terhadap Alquran yang simpang siur itu. Dikatakan mereka bahwa Alquran itu tak lebih merupakan: 1) sihir (Q.s. Saba’:31), 2) dongeng-dongeng umat terdahulu yang didiktekan kepada Muhammad pada pagi dan sore hari (Q.s. al-Furqon:5) dan 3) sebagai mimpi-mimpi yang kalut dan bahkan ia adalah seorang penyair (Q.s. al-Anbiya:5) . Dari keraguan tersebut mereka sampai pada tahap pengingkaran dan keras kepala ketika mereka lemah menghadapi tantangan Alquran dengan berkomentar enteng: “Kami pernah mendengarnya, dan kalau kami ingin kami akan membuat ucapan seperti Alquran” (Q.ss al-Anfal:31) dan “Coba seandainya Alquran turun sekaligus” (Q.s.al-Furqon: 32). Harapan mereka agar Alquran diturunkan kepada orang-orang terpandang keturunan bangsawan di Makkah atau Thaif selain Muhammad, telah menandakan kedengkian mereka terhadap Rasulullah saw yang diberi mukjizat berupa Alquran.
    Motif relijius sangat dominan dalam penyusunan buku-buku terkait dengan wacana kemukjizatan dan tafsir sastra Alquran. Selain karena faktor akar Quranik nya yang kental membantah segala sesuatu yang bukan Alquran, wacana kemukjizatan sastra Alquran juga dipicu oleh faktor sosiologis akibat perluasan jangkauan wacana Alquran ke dalam kawasan-kawasan yang berhasil diraih oleh kekuatan politik Islam. Dengan meluasnya gerakan pembebasan Islam dan proses asimilasi peradaban Arab dengan peradaban bangsa-bangsa yang dibebaskan, Islam menghadapi gelombang serangan intelektual (Ghazwul Fikr) dahsyat yang dilontarkan oleh bekas pemeluk-pemeluk agama terdahulu yang masih kuat dipengaruhi kebudayaan agama tersebut. Maka lumrah pula jika gelombang syubuhat juga diarahkan kepada Alquran, kitab suci umat Islam. Untuk merobohkan tesa kemukjizatan Alquran, mereka berasumsi bahwa Alquran penuh dengan kontradiksi dan cacat baik pada aspek kontentum maupun susunan katanya.
    Ibnu Qutaibah, penulis buku “Ta’wil Musykil Alquran” menggambarkan motif relijius itu dengan sangat antusias begini: “Kitabullah menghadapi tuduhan orang-orang yang ingkar Tuhan, mereka menjilat-jilatnya kemudian berpaling dan mengikuti ayat-ayat yang Mutasyabih (samar) dengan harapan timbul fitnah dan membelokkan artinya dengan faham-faham yang sesat, pandangan-pandangan kabur dan penglihatan yang dipaksakan dari luar. Maka mereka palsukan kalmiat-kalimatnya dan selewengkan dari jalannya untuk kemudian mereka melemparkan tuduhan bahwa Alquran itu dijejali hal-hal yang kontradiktif, mustahil dan kekacauan susunan redaksinya untuk menyesatkan iman yang lemah.”
    Hal itu pula yang mendorong seorang pakar bernama Abu ‘Ubaidah Mu’ammar ibn Mutsanna, menyusun bukunya “Majaz Al-Qur’an”. Cerita di balik penulisan buku tersebut juga dilatarbelakangi tuduhan yang menggelisahkan para pakar Alquran. Suatu ketika beliau bertemu dengan Al-Fadl ibn Rabi’ seorang menteri di Baghdad dengan tuduhan bahwa Alquran memakai istilah yang tidak dikenal oleh orang Arab dalam redaksi tahdid (ancaman) seperti Q.s. Shaffat:65 “Mayangnya seperti kepala-kepala setan”. Abu Ubaidah menangkis tuduhan tersebut dengan menyatakan bahwa Allah swt berbicara sesuai dengan tingkat pengetahuan orang Arab. Redaksi ancaman yang memakai istilah dunia hantu dan setan telah dikenal oleh penyair-penyair Arab. Umru’ al-Qais pernah mendedangkan syair ancaman dengan ungkapan “Seperti taring-taring hantu”, padahal mereka belum pernah melihat hantu.(Musthafa Shawi al-Juwaini, Manhaj az-Zamakhsyari fi Tafsir Alquran, hlm. 203) Ayat ini pula yang disebut-sebut Al-Jahiz, teolog dan linguis terkemuka beraliran mu’tazilah, sebagai titik tolak serangan pihak-pihak yang meragukan kemukjizatan Alquran.
    Menghadapi kondisi ini para teolog, pakar bahasa dan tafsir bangkit membela Alquran dari serangan badai dahsyat tersebut. Oleh karena itu titik tolak para pembela I’jaz Alquran adalah pemahaman bahwa Alquran itu berbahasa Arab yang menjadi ‘hujjah’ bagi seorang rasul yang berkebangsaan Arab. Oleh sebab Alquran berbahasa Arab, maka tugas para pakar adalah menjelaskan karakter-karakter gaya bahasa yang digunakan Alquran, sebagaimana yang dilakukan Abu ‘Ubaidah dalam penyusunan “Majaz Alquran” dan Al-Jahiz dalam “Nazhm Alquran”, walaupun buku yang terakhir disebut tidak sampai ketangan kita.
    Al-Jahiz (W.265 H) sendiri sering terlibat ‘perdebatan sengit’ membela Alquran dalam magnum opus-nya “Al-Hayawan” terutama dalam masalah-masalah berikut: Hakikat burung ‘Hudhud’ yang tersebut dalam Alquran, kisah kerajaan Sulaiman yang ‘dianggap’ cacatnya pemberitaan umat Islam, pandangan yang berseberangan dengan pengertian firman Allah Q.s. al-A’raf:63, serangan orang-orang mulhid dalam memahami ayat tentang lebah dan metafornya, serangan terhadap tasybih dengan “Kepala-kepala syaitan”, serangan terhadap pemahaman bahwa setan dan iblis dapat mencuri pendengaran mengenai rahasia-rahasia langit. (Lihat vol IV/77-93, 100-105, 423-431 dan vol VI/211-213, 264-283, 496-503)
    Apa yang ingin saya tekankan di sini, ternyata wacana pendekatan metode sastra (manusiawi) yang dibentengi komitmen keimanan sumber keilahian Alquran dapat berjalan seiring dan saling melengkapi dalam tradisi keilmuan umat Islam sepanjang sejarah. Gejala umum dan inspirasi yang dipraktekkan oleh para sarjana sastra Alquran yang berwibawa seperti Al-Jahiz (W.265 H), ‘Ali ibn ‘Isa ar-Rummani (w.348 H), Abu Sulayman al-Khattabi (w. 388 H), Qadli ‘Abdul Jabbar (w. 415 H), Abu Bakr Al-Baqillani (w.403 H), dan ‘Abdul Qahir Al-Jurjani (w.471 H) inilah yang akan menghadang setiap upaya “pembacaan sekular-liberal atas turats keilmuan Islam”, terutama dalam kajian-kajian linguistika Alquran.
    Pembacaan semena-mena kaum sekular itu, misalnya, dapat ditemukan dengan sangat mencolok dalam upaya membaca ulang teori nazhm sebagai inti karakter kemukjizatan Alquran menurut ‘Abdul Qahir al-Jurjani, sebagai teori “konstruksi” teks yang dijadikan bemper akar historis Nasr Hamid Abu Zayd ketika melontarkan ide “Alquran sebagai produk budaya”.

    Tafsir Sastra dan Sekularisasi Teks-teks Agama

    Tentunya lain wacana turats Islam klasik, lain pula dengan wacana sekularisasi teks agama melalui tafsir sastra-manusiawi. Wacana sekuler berupaya sekuat tenaga mencabut status kesakralan wahyu dengan cara menelanjangi mekanisme-mekanisme mitologisasi, transendensi, dan sakralisasi yang diperankan langsung oleh wacana Quranik (‘Ali Harb; Naqd al-Nassh hlm. 203 dan al-Mamnu’ wa al-Mumtani’ hlm. 120). Diantaranya dengan meletakkan Alquran tidak dalam optik suatu pembicaraan Tuhan yang transenden datang dari “atas”, melainkan sebagai realitas “bawah” seperti realitas-realitas fisika dan biologi. (M. Arkoun, Tarikhiyyat al-Fikri al-‘Araby hlm. 284). Mengkaji Alquran sebagai suatu teks bahasa tanpa embel-embel sifat dan sumber keilahiannya adalah gagasan yang selalu diusung para pemikir muslim sekuler-liberal.
    Wujud keilahian-metafisik seperti ini bagi Nasr Hamid (Mafhum al-Nassh, hlm. 27) hanya akan merusak kenyataan bahwa teks Alquran sebagai produk budaya dan akan menghalangi upaya pembacaan ilmiah yang steril dari pengaruh ideologis terhadap Alquran. Setiap wacana yang menekankan dimensi keilahian nash Alquran, dalam pandangan kaum sekuler-liberal, hanya akan menyeret kita terjerembab ke dalam wacana khurafat dan mitos. (al-Nassh, al-Sulthoh wa al-Haqiqoh hlm. 92, dan Mafhum al-Nassh hlm 27-30).
    Wacana sekular-liberal juga terus-menerus memuja upaya Muhammad Arkoun, yang telah berhasil membebaskan kita dari pengaruh otoritas nash yang akan menghalangi hakikat material kebahasaan Alquran. (Min Fayshal al-Tafriqa ila Fashl al-Maqal hlm. 13 footnote). Arkoun sendiri sedari mula telah sesumbar bahwa proyek keilmuannya berusaha untuk “Menundukkan Alquran ke dalam ujicoba kritik historis komparatif” (wawancara dengan Majalah al-Tsaqafah al-Jadidah edisi 26 tahun 1986, dan ‘Ali Harb; al-Mamnu’ wa al-Mumtani’ hlm. 119). Usaha intelektual dia dalam kajian Alquran didefinisikan sebagai “pembacaan historisitas atas teks Alquran” (al-Fikr al-Islamy Qira’ah ‘Ilmiyah, hlm. 213). Dengan perangkat dekonstruksi wacana, proyeksi Arkoun akan menyingkap kesejarahan Alquran yang lebih materialis, mendunia, lebih sensual dan telanjang. (al-Fikr al-Islamy Qira’ah ‘Ilmiyah, hlm 91, al-Islam wa al-Akhlaq wa al-Siyasah hlm. 91, Naqd al-Nassh hlm. 119). Untuk merealisasikan proyek sekularisasi teks divine, mereka menempuh jalur pendekatan tafsir susastra, yang dalam pandangan Abu Zayd merupakan jalan satu-satunya untuk memahami semangat tekstualitas Alquran. Dari pendekatan tafsir susastra inilah, maka pendekatan hermeneutika dan linguistik kontemporer digunakan sebagai piranti untuk menjinakkan Alquran yang sudah selama berabad-abad dibungkus wacana kesakralan yang harus dinetralisir. (M. Arkoun, al-Quran min al-Tafsir al-Mawruts ila Tahlil al-Khithab al-Dini, hlm. 62)
    Sehingga apa yang diadvokasikan oleh Prof. Stefan Wild dalam pengantar buku itu (hlm. xxx) bahwa: “Penggunaan keilmuan kontemporer terhadap teks keagamaan jelas tidak akan mengubah apalagi mempengaruhi secara negatif status teks tersebut. Dan sebaliknya, keilmuan tersebut menjadi pintu masuk terhadap teks keagamaan yang menunjukkan bahwa pemahaman kita terhadapnya, secara saintifik, dalam pendekatan historis, telah berubah”, jelas menyisakan masalah dan problem baru dari pada menyelesaikan masalah yang menjadi inti perdebatan antara kalangan Islamiyun dan sekularis-liberal. Dan dunia kajian tafsir Alquran di Indonesia harus bersiap-siap dalam beberapa dekade ke depan, akan menyaksikan pengulangan drama kasus Taha Husain, Khalfallah, dan Abu Zayd di Mesir dalam panggung jagad intelektual di Tanah Air.

    Wallahu A’lam bil-Showab.

    By Blogger My Identity, at 15 Februari, 2009  

Posting Komentar

<< Home


Ut enim ad minim veniam, consectetur adipisicing elit, ullamco laboris nisi. Ut labore et dolore magna aliqua. Cupidatat non proident, sunt in culpa velit esse cillum dolore. Qui officia deserunt in reprehenderit in voluptate ullamco laboris nisi. Lorem ipsum dolor sit amet, sunt in culpa eu fugiat nulla pariatur.

Sed do eiusmod tempor incididunt velit esse cillum dolore excepteur sint occaecat. Duis aute irure dolor. Ut enim ad minim veniam, excepteur sint occaecat ullamco laboris nisi. Duis aute irure dolor cupidatat non proident, consectetur adipisicing elit.Sed do eiusmod tempor incididunt velit esse cillum dolore excepteur sint occaecat. Duis aute irure dolor. Ut enim ad minim veniam, excepteur sint occaecat ullamco laboris nisi. Duis aute irure dolor cupidatat non proident, consectetur adipisicing elit.